Aku Senang dengan Peluh Ini

by : Gugi Yogaswara


Dua puluh lima tahun sudah aku hidup di dunia ini. Aku tidak mengartikan semua mimpiku sebagai sebuah ilusi yang memberatkan dan melelahkan. Aku tidak akan terbebRatna atas semua mimpi yang sudah kutulis karena aku tidak akan melakukan semua itu hanya untuk diriku. Aku melihat banyak orang, aku melihat banyak tangisan, aku melihat banyak permasalahan sehingga aku dapat menuliskannya. Ia adalah sebuah rantai yang panjang dan rumit serta tak terlihat ujungnya. Apakah aku mempedulikannya? Nyatanya tidak terlalu. Karena aku sudah belajar banyak dari dunia dan makhluk yang ada di dalamnya. Mereka mengajarkanku akan sebuah pedoman dalam menggunakan sebuah alat. Alat yang semua orang miliki termasuk aku. Ya, awalnya akupun tidak sadar bahwa aku memilikinya. Tapi mereka mengajarkanku untuk menemukannya dan menggunakannya dengan bijak dan baik. Alat itu adalah diriku sendiri dengan segala atribut potensi dan bakat yang menyertainya.

Sehingga aku bisa menatap nanar dunia dengan penuh asa dan haru. Asa karena aku belum pernah merasakan menjadi orang yang begitu berguna untuk banyak orang. Haru karena aku belum melihat orang-orang merasakan kebahagiaan karena kehadiranku. Ya, untuk orang-orang, untuk mereka semua. Untuk para saudara-saudaraku seiman yang pula meneteskan airmata manakala melihat keadaan bangsa yang begitu memprihatinkan. Tapi, cukuplah orang-orang hanya mengetahui asa dan haru yang aku miliki, tak usahlah mereka mengetahui seberapa besar atau seberapa kecil pengorbanan yang aku lakukan. Tapi, sepertinya aku ingin sekedar memberikan sedikit inspirasi bagi orang-orang sekitar, aku share sedikit saja ya..

Setiap hari, setiap waktu, aku dilanda rasa gundah dan sesak karena ketidaktahuanku dan kebingunganku. Mulai dari mana aku dapat memberi? Mulai dari mana aku dapat mengasihi? Di tengah kebingunganku, aku dapatkan sebuah jawaban. Jawaban yang datang begitu saja seperti tanpa perantara. Jawaban yang masih samar sebenarnya, karena sampai sekarang pun aku masih belum mengetahui secara pasti apa arti dari jawaban itu. Jawaban itu berkata bahwa, “Aku harus mati-matian, dan bersungguh-sungguh. Tidak usah memedulikan seberapa banyak peluh yang kukucurkan dan seberapa luas noda darah yang ada dalam kerah bajuku. Tetaplah bergerak dan memberi dengan cara yang engkau punya dan potensi yang engkau miliki!!!”. Aku tidak menemukan sebuah jaminan yang pasti akan kebenaran dari jawaban itu. Aku tidak bisa melihat secara jelas apa yang akan dihasilkan setelah aku melakukan hal itu.

Tapi, aku nyaris putus asa seputus-putusnya. Aku nyaris kehabisan tenaga dan pikiran untuk mencari dimana jaminan dan gambaran yang jelas dari sebuah jawaban sumbang yang aku dapatkan tadi. Aku pun bertanya pada Allah untuk sekiranya menjawab kebingunganku ini. Sudah berkali-kali aku bertanya kepada-Nya, berkali-kali aku menangis tersungkur menghadap-Nya. Tapi Ia tidak memberikan tanda-tanda jawaban yang pasti. Aku pun semakin bingung karenanya. Tidak ada pilihan lain, aku harus menerapkan jawaban rumpang tadi.

Sehingga, aku tidak mengeluh jika mataku sakit menahan kantuk karena tidak tidur semalaman untuk membuat naskah tulisan suatu lomba karya tulis. Aku tidak memedulikan apa kata orang terhadap diriku. Aku hanya memandang tujuan hidup dan capaian pribadiku sebagai garis besar aktifitas harianku. Aku ingin membahagiakan keluargaku di sana, ingin menjadi orang kaya sehingga mudah untuk memberi rezeki kepada banyak orang. Aku tetap merasa riang dan gembira jika tidak aku temukan sedikitpun uang di kantongku. Aku hanya bisa beranggapan bahwa dengan naskah yang selalu aku tulis dapat memenangkan perlombaan sehingga aku dapat uang lagi untuk menebus hutang-hutangku. Jawaban rumpang ini terus aku lakukan dan lakukan. Bahkan aku sempat tergila-gila karenanya. Aku merancang sebuah mimpi besar di masa depan dan aku berpikir bahwa hanya aku yang dapat mewujudkannya.

Lima puluh tahun sudah aku hidup di dunia ini. Tak terasa, sudah bertahun-tahun aku lakukan apa yang disarankan oleh jawaban yang aku temukan secara tidak sengaja itu. Hatiku basah, mataku meleleh. Aku tidak lagi menghayati raihan yang sudah aku capai. Hatiku sudah tidak peka lagi dengan segala yang terjadi dengan diriku. Perasaanku sudah dikuasai oleh orang lain dan keluargaku sampai aku tidak pernah lagi merasakan betapa jauhnya usaha yang sudah kulakukan. Ya hatiku basah dan seketika pecah. Tidak pecah hingga hancur berkeping-keping, pecah karena rasa yang selama ini aku tahan sudah terlalu banyak dan kuat sehingga aku tak mampu lagi menahannya.

Saat kembali kulihat mereka, mereka menunjukkan sebuah senyum yang sangat mRatnas dan indah. Bahkan bukan hanya mereka, tapi seluruh alam ini bersenandung menghibur rasa haruku. Mereka semua berkata terimakasih dan selamat yang tidak terhingga.

Sempat aku bingung mengapa mereka sampai seperti itu terhadapku? Kenapa mereka sampai mengucurkan airmata dan menyebut-nyebut namaku. “Ayo, Rahmat…kamu pasti bisa…Bertahan!!!!”. Dalam hati, aku terkekeh-kekeh melihat mereka yang agak berlebihan menyemangatiku. Tapi aku tidak mempedulikan hal itu terlalu lama, aku lantas kembali mengkaji dan berkonsentrasi pada hatiku yang berkecamuk ini. Tak pernah rasanya aku merasakan hal ini sebelumnya. Atau sebenarnya pernah, hanya saja aku lupa dan berusaha terlalu keras untuk melupakannya. Tapi, sepertinya aku memang pernah merasakan hal ini sebelumnya. Suasana yang begitu haru dan sangat bergejolak penuh emosi. Apakah ini sebuah hasil dari sesuatu? Apakah ini merupakan sebuah pelengkap dari sebuah jawaban yang rumpang dulu?

Tapi, yang jelas, sesuai kebiasaanku, akan aku transformasikan seluruhnya menjadi sebuah kebahagiaan yang menentramkan dan tahan lama. Aku berusaha senyum kepada orang-orang disekitarku. Mereka mengelilingi ku dengan mimik muka yang sungguh menentramkan. Ya mereka tersenyum lebar, walaupun diantaranya sampai ada yang menangis. Aku pun berusaha membalas senyumnya dengan sekuat tenaga. Air mataku keluar dan mengalir kearah kuping kanan dan kiriku. Ia membasahi bantal putih nan bersih dan wangi di bawah kepalaku. Tapi, aku bingung setelahnya, kenapa mimik mereka berubah seketika? Tangisan mereka berubah menjadi tangisan sedih dan mengharu biru. Padahal, aku sudah merasa jauh lebih baik dan jauh lebih sehat dari sebelumnya. Aku pun heran, tapi aku hanya bisa tersenyum saja. Ya, aku hanya tinggal senyum saja yang lebar. Toh, mereka pun pasti tahu bahwa senyum adalah kebiasaanku. Walau seberat apapun kondisi yang aku hadapi, aku selalu bisa untuk tersenyum dan menghibur orang-lain.

Disana ada adik-adik kecilku, si Ratna dan Joni, yang kabarnya baru meraih gelar Ph.D di London University dan Ohio University. Ratna adalah perempuan yang dapat memperhatikan seseorang lebih dalam. Suatu ketika ia pernah menanyakan sesuatu kepada temannya tentang permasalahan yang dihadapi oleh temannya itu. Kemudian, tanpa panjang lebar, Ratna berkata, “Kalau kau ingin menangis, menangis saja. Tidak usah ditahan”. Padahal, aku tahu temannya itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa ia sedang memiliki masalah berat. Kemudian ia menangis dan belakangan diketahui bahwa orangtuannya sudah bercerai. Tak heran jika ia memperoleh gelar cumlaude di Inggris sana. Aku ingat sekali, Ratna pernah marah-marah padaku dulu. Aku dibilang bodoh olehnya. Ia memperingatkanku untuk beristirahat, karena saat itu aku tidak lagi dapat merasakan kakiku karena terlalu lama dan banyak bepergian untuk mencari lowongan pekerjaan. Aku dimarahi olehnya karena perilakuku sudah diluar segala teori psikologi yang sudah ia pelajari, yakni sama sekali tidak memerhatikan kondisi tubuh dan hak pribadi demi mendapatkan hal yang aku inginkan. Tapi, walaupun begitu, aku tahu bahwa ia sebenarnya menyayangiku. Dan sepertinya ia juga tahu bahwa aku menyayanginya, walaupun aku yakin ia tidak bisa sampai mengira seberapa besar rasa sayangku padanya.

Sedangkan Joni, ia merupakan pemuda yang tampan dan gagah. Sebenarnya ia bukanlah adik kandungku. Almarhumah Ibuku menemukannya tergeletak begitu saja di depan pintu gubuk kami saat azan subuh berkumandang. Ibuku menamai bayi itu Joni, bukan fajar. Karena ibuku ingin memiliki anak laki-laki yang memiliki nama seperti orang barat. Aku manut saja walau aku terkekeh saat mendengarnya dinamai Joni. Saat itu aku masih berumur 12 tahun. Tanpa tahu penghasilan dari memulung sampah belakang komplek cukup atau tidak, ditambah lagi ibuku adalah single parent yang merawat satu orang anak, kemudian ditambah satu lagi, Joni Ambarawa. Seorang anak yang cerdas dan jenius. Pada umur 6 tahun dia sudah bisa menyelesaikan soal fisika tentang konsep tekanan fluida, karena ia tidak sengaja mendapati sebuah buku fisika SMA saat menemani ibu memulung di belakang komplek.



Ah, sungguh kenangan itu membuatku tersenyum sendiri jika mengingatkannya kembali. Aku pun tidak mengetahuinya secara pasti, apakah yang mereka rasakan sama dengan apa yang aku rasakan? Karena semenjak aku kuliah di Jakarta, aku meninggalkan mereka bertiga di kampung. Aku tahu itu sangat tidak bertanggung jawab. Pamanku pun mencelaku sebagai anak yang tidak berbakti. Tapi, ibuku hanya bisa senyum kala itu. Aku pun senyum dan berangkat meninggalkan mereka.

Aku sudah tergila-gila pada sebuah jawaban rumpang itu. Entah apa yang membuatku bisa begini. Aku tidak lagi memerhatikan apa yang ada di sekitarku jika itu adalah sebuah fenomena yang merepotkan dan memberatkan. Aku hanya punya tujuan jangka pendek yang mendesak dan jangka panjang yang sangat penting. Aku harus memenuhi seagala keperluan. Ku tatap nanar layar laptop rekan sekamarku dan secepat mungkin membuat tulisan naskah lomba karya tulis di berbagai daerah. Tak kuingat lagi apa yang sudah aku lakukan setiap hari. Karena aku selalu berpikir untuk mencari ide dan berpikir bagaimana keadaan orang-orang yang aku cintai di kampung.

Hahaha…masa muda yang indah. Aku cekikikan sendiri dan ingin menghapus airmataku yang meleleh. Tapi, airmata itu tetap mengalir ke bantal yang putih, bersih, dan wangi. Rasanya wangi ini tidak asing, ini semacam parfum antiseptik yang digunakan dokter untuk perawatan inap seorang pasien. Aku masih saja heran, kenapa orang-orang di sekitarku sampai seperti ini jadinya. Aku sering membuat mereka tertawa terbahak-bahak karena lelucon yang aku lakukan. Tapi, kok mereka semua menangis sekarang. Aku meraih tangan Ratna dan mendekapnya ke dadaku, dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Tapi ia lagi-lagi tidak menggubrisku. Aku memeluk Joni dengan erat dan mengatakan semuanya akan kembali seperti semula. Ia tetap saja menangis. Aku hanya ingin menyampaikan pada semua orang yang ada di ruangan ini bahwa aku hanya akan pergi sebentar untuk menyusun karya tulis. Dan sepertinya ibuku sudah mulai tertarik untuk membuat karya tulis. Oleh karena itu, aku mau menemaninya beberapa saat. Aku juga ingin menyampaikan kepada mereka semua untuk terus berusaha, dan jangan memikirkan hal yang berat dan memberatkan. Memohonlah pada Allah sesering mungkin. Karena Allah telah melengkapi kebingunganku dengan sebuah hasil yang gemilang. Sehingga aku dapat menyekolahkan semua adikku ke luar negeri dan dapat membiayai semua keperluan pengobatan kanker ibu sampai ke pemakamannya. Allah pun telah menambah keyakinanku dengan menjadikanku seorang direktur yayasan pemberdayaan masyarakat miskin di daerahku. Kemudian aku pun dijadikan-Nya menteri sosial Negara ini, sehingga aku dapat mewujudkan cita-cita kecilku, yakni memberi sebanyak-banyaknya. “Sudahlah jangan kalian semua menangis. Aku hanya pergi sebentar, tapi sepertinya aku sulit untuk kembali, karena yang aku dengar disana tidak ada kereta api ekonomi AC yang menuju ke terminal Bogor lagi. Aku pun dengar disana tempatnya nyaman dan indah. Pemandangannya juga lebih bagus dari pada di Bogor dan sekitarnya. Jadi aku sarankan kalian juga untuk pindah kesana suatu saat. Aku hanya bisa menunggu bersama Ibu. Akan kubuat ibu pandai mengerjakan karya tulis, sehingga ia bisa ikut lomba sepertiku.”



Bogor, 19 April 2011

0 komentar:

Posting Komentar